Misteri Nusantara – Tamu Tak Diundang Perjalanan dinas selalu memberikan pengalaman unik, dan kali ini pengalamanku menyisakan kesan yang tak terlupakan. Aku, bersama rekanku Bimo, mendapat tugas pertama untuk perjalanan dinas ke pulau Karimun, Kepulauan Riau. Di balik perjalanan ini, ada kisah menyeramkan yang membuat bulu kudukku meremang setiap kali mengingatnya.
Mess di Tengah Hutan
Kami tiba di bandara Sri Indra Jaya, kota Tanjung Pinang, dan langsung dijemput oleh sopir menuju mess tempat kami akan menginap. Lokasinya terletak di tengah hutan, cukup jauh dari keramaian kota. Setelah menempuh perjalanan enam jam melewati jalan berliku dan gelap, kami akhirnya tiba di mess sekitar pukul delapan malam.
Mess ini masih baru, dengan bau cat yang masih tercium. Bangunan itu cukup besar namun terkesan sepi dan terpencil. Malam itu, kami duduk di sofa ruang tengah sambil menyeruput kopi hangat dan menonton televisi.
“Tempat ini kayaknya bakal bikin kita betah. Sejuk banget,” ujar Bimo sambil menguap.
Aku mengangguk setuju, walau suasana di luar terasa sedikit aneh dengan suara lolongan anjing yang menggema di kejauhan.
Tamu Tak Diundang
Ketika kami tengah bersantai, terdengar suara langkah kaki di luar mess.
“Tok tok tok,” suara ketukan terdengar di pintu depan.
Bimo bangkit dari sofa dan membukanya. Dua petugas keamanan berdiri di sana, memberikan laporan patroli malam.
“Semua aman, Pak?” tanya salah satu satpam.
“Aman, Pak. Terima kasih sudah memeriksa,” jawab Bimo sambil tersenyum.
Setelah mereka pergi, aku merasa suasana semakin mencekam. Udara dingin seperti menusuk kulit, dan lolongan anjing terdengar lagi, lebih panjang dari sebelumnya.
“Aauuuuuuung….”
“Udah, kita tidur aja. Besok kerja berat,” ucapku, mencoba mengabaikan perasaan aneh yang mulai menghantui.
Bimo mengangguk dan berjalan menuju kamar. Namun sebelum kami benar-benar masuk, suara ketukan kembali terdengar. Kali ini lebih pelan, seperti sengaja menakut-nakuti.
“Tok… tok… tok…”
“Aneh, tadi kan satpam udah pergi,” gumam Bimo sambil melangkah ke pintu.
Saat pintu kubuka, tiba-tiba ia terdiam. Tubuhnya menegang, dan wajahnya berubah pucat.
Sosok Misterius di Depan Pintu
Aku melihat ke arah pintu dari balik bahu Bimo, dan di sana berdiri seorang lelaki tua berwajah pucat dengan mata putih tanpa retina. Tangannya menggendong sesuatu yang terbungkus kain putih—pocong.
“Mas… ini apa?” suaraku bergetar, hampir tak keluar.
Lelaki tua itu tidak menjawab. Dengan langkah pelan, ia masuk ke dalam mess, meletakkan pocong tersebut di lantai ruang tengah. Suasana hening, hanya suara napas kami yang terdengar di tengah rasa takut yang mencekam.
Bimo bergeser mundur, hampir kehilangan keseimbangan. Aku menarik lengannya, berusaha memberanikan diri. Namun ketika lelaki itu menatap kami dengan tatapan kosong, aku merasakan darahku seperti berhenti mengalir.
Pelarian Malam
“Lari!” seruku panik sambil menarik Bimo.
Tanpa pikir panjang, kami berlari keluar mess menuju pos satpam yang berjarak sekitar 50 meter. Nafasku tersengal, dan jantungku berdegup kencang.
Di pos satpam, kami menceritakan apa yang terjadi. Petugas keamanan mencoba menenangkan kami, namun wajah mereka juga terlihat kebingungan.
“Pak, siapa tadi itu?” tanya salah satu satpam, berusaha mengerti.
“Gak tahu. Kami lihat dia bawa pocong, terus masuk ke mess!” jawab Bimo dengan suara bergetar.
Malam itu, kami memutuskan menginap di pos satpam hingga pagi. Ketika fajar menyingsing, kami kembali ke mess untuk mengambil barang dan melaporkan kejadian tersebut kepada pihak berwenang. Namun yang membuat kami semakin bingung, tidak ada jejak apapun di ruang tengah. Mess terlihat seperti sedia kala, seolah semua yang kami alami hanyalah mimpi buruk.
Tinggalkan Balasan