Kamar 304 : Jeritan dari Dalam Kegelapan ; Kali ini, aku akan bercerita tentang pengalaman ibuku ketika dirawat di sebuah rumah sakit swasta di Bandar Lampung. Peristiwa ini bermula pada Sabtu malam yang kelam ketika ibuku dibawa ke rumah sakit dengan ambulans karena demam berdarah. Saat itu, hanya aku dan ayah yang bisa mengantar, karena abang dan kakak perempuanku sedang tidak ada di kota. Kami sampai di rumah sakit sekitar pukul sepuluh malam, suasana di luar gelap dan dingin, seolah mencerminkan ketegangan yang menyelimuti hati kami.
Pertama Kali Masuk Ruang Rawat
Setelah administrasi selesai, kami dipandu ke ruang kelas 2 spesialis penyakit dalam. Begitu masuk, aku langsung merasakan aura aneh di ruangan itu. “Lihat, ada bercak darah di lantai,” kataku sambil menunjuk ke arah petugas yang sedang membersihkan dengan kain pel.
Ayah menggeleng, “Mungkin itu hanya sisa perawatan sebelumnya. Jangan terlalu cemas,” katanya. Meski begitu, rasa curiga dan ketidaknyamanan mulai menggerogoti pikiranku. Di dalam ruangan, terdapat tiga tempat tidur dan semua terlihat kosong, kecuali ranjang ibu yang berada dekat pintu.
Malam pertama berlalu tanpa kejadian yang mencolok. Aku dan ayah menghabiskan waktu berbincang sampai larut, hingga akhirnya kami terlelap. Namun, meskipun aku tertidur, rasa gelisah tidak kunjung pergi.
Suara Malam yang Menyeramkanbaya
Hari Minggu, aku harus bergegas pulang untuk bersiap ke sekolah. Sebelum pergi, aku memastikan ibuku baik-baik saja. “Ibu, aku harus pergi. Ayah akan menemani Ibu, ya?” tanyaku sambil mencium keningnya.
“Iya, sayang. Semoga cepat sembuh,” jawab ibu dengan senyum lemah.
Malam itu, saat ayah tinggal sendirian di rumah sakit, suasana sunyi mulai terasa mencekam.
Tiba-tiba, ibu terbangun, terkejut oleh seorang pria paruh baya yang menarik-narik infusnya. “Ayah! Tolong!” teriak ibu, suaranya penuh kepanikan.
Namun, ayah tidak terbangun. Ibu terus berteriak hingga akhirnya terjatuh dari ranjang. Suara gaduh itu membangunkan ayah, dan beberapa perawat bergegas masuk ke ruangan. “Ada apa ini?” tanya seorang perawat dengan wajah bingung.
“Ada seorang lelaki di sini! Dia mencoba mengambil infusku!” jawab ibu sambil menatap penuh ketakutan. Wajahnya pucat, dan air matanya mulai mengalir.
Kengerian Terungkap
Setelah kejadian itu, suasana ruangan menjadi ramai. Beberapa pasien dari ruangan sebelah datang menjenguk. “Kami mendengar teriakan, ada apa di sini?” tanya salah satu pasien yang terlihat khawatir.
Dari percakapan mereka, aku mendengar kabar mengejutkan. “Sebelum Ibu dirawat di sini, terdapat pasien lain yang telah meninggal. Dia demam berdarah dan memuntahkan darah,” ujar seorang pengunjung lain.
Aku menatap ayah yang terlihat semakin gelisah. “Sepertinya darah yang tadi kulihat berasal dari orang itu,” gumamku.
Ayah mengangguk. “Kita harus tetap tenang. Ibu sudah di sini untuk dirawat, dan dia butuh kita.”
Kejadian Malam Berikutnya
Malam selanjutnya, aku terbangun di asrama dengan perasaan tidak nyaman. “Ayah, bagaimana kabar Ibu?” tanyaku melalui telepon.
“Ibu sudah menunjukkan kemajuan, tetapi kita perlu tetap berhati-hati,” sahut ayah. “Malam ini, Ibu memang terbangun kembali, tapi tidak terjadi sesuatu yang mencurigakan.”
Aku merasa lega, tetapi rasa khawatir itu tetap mengganggu. Dalam hati, aku berharap semua ini hanya ilusi dari kepanikan malam itu.
Akhir yang Membangun Harapan
Keesokan harinya, ketika aku kembali ke rumah sakit, suasana terasa lebih tenang. Ibu sudah terlihat lebih segar, meskipun masih lemah. “Ibu, bagaimana kabarnya?” tanyaku dengan penuh harap.
“Alhamdulillah, sayang. Aku merasa jauh lebih baik,” jawabnya sambil tersenyum.
Kami mengobrol hingga siang, membahas banyak hal, termasuk tentang kejadian malam sebelumnya. “Sayang, aku merasa seperti ada yang menjagaku, meskipun aku takut saat itu,” kata ibu.
Aku tersenyum. “Kita sudah melewati malam yang menakutkan. Sekarang, kita harus fokus pada kesembuhan Ibu.”
Setelah beberapa hari, ibu diperbolehkan pulang. Kami bersyukur, meski tidak bisa menghapus kejadian menyeramkan itu, pengalaman itu mengajarkan kami untuk saling mendukung dan menghadapi segala sesuatu dengan keberanian.
“Aku berjanji akan selalu berada di sisimu, Ibu,” kataku saat kami keluar dari rumah sakit, sinar matahari menyinari langkah kami.
“Iya, sayang. Ini adalah awal baru bagi kita,” jawab ibu, mengaitkan tangannya di lenganku.
Kami berjalan pulang dengan rasa syukur, menyadari bahwa dalam kegelapan, ada harapan yang selalu bersinar.
Tinggalkan Balasan