Aku selalu merasa ada yang aneh dengan kakakku, Arga. Sejak kecil, dia selalu tampak berbeda—lebih pendiam, sering terjebak dalam dunia sendiri. Namun, perubahan yang paling mencolok terjadi ketika dia mulai menginjak usia remaja. Mata hitamnya sering terlihat kosong, seperti sedang menatap sesuatu yang tak terlihat oleh orang lain. Kami tinggal di sebuah rumah tua, yang katanya sudah berusia lebih dari seratus tahun. Suatu malam, ketika aku pulang dari sekolah, aku melihat Arga duduk di ruang tamu dengan wajah yang pucat, berbicara dengan seseorang yang tidak kulihat.
Suara yang Tak Terlihat
Hari-hari setelah itu, aku mulai mendengar bisikan aneh dari kamar Arga. Awalnya aku kira hanya imajinasiku, tetapi lama kelamaan, suara itu semakin jelas. Terkadang terdengar seperti tawa rendah yang menakutkan, atau suara bisikan yang seakan memanggil namaku. Aku mencoba untuk mengabaikannya, namun rasa takut mulai merayap dalam setiap sudut rumah. Suatu malam, aku memberanikan diri untuk mengintip melalui celah pintu kamar Arga. Aku melihatnya berdiri menghadap cermin besar, berbicara dengan bayangannya sendiri. Namun bayangan itu tidak bergerak sesuai dengan gerak tubuh Arga. Seperti ada seseorang—atau sesuatu—yang berdiri di belakangnya.

Rahasia yang Tertutup
Keesokan harinya, aku mengumpulkan keberanian untuk berbicara dengan Arga. Aku bertanya apakah dia merasa baik-baik saja, dan apakah ada yang mengganggu pikirannya. Arga menatapku dengan mata yang kosong dan tersenyum tipis. “Tidak ada yang perlu dikhawatirkan,” jawabnya pelan. Namun, aku bisa merasakan ada sesuatu yang disembunyikannya. Malam itu, saat aku tidur, aku terbangun oleh suara ketukan pelan di pintu kamarku. Aku membuka pintu, namun tidak ada siapapun di sana. Yang ada hanya sebuah buku tua tergeletak di lantai. Buku itu tampaknya sangat usang, dengan tulisan yang tidak aku mengerti. Aku membukanya dan menemukan sebuah ritual yang mengerikan—ritual yang konon bisa memanggil makhluk dari dunia lain.
Kehadiran Setan
Semakin hari, keanehan semakin meningkat. Arga semakin sering menghabiskan waktu sendiri di malam hari, seakan berbicara dengan sesuatu yang tidak aku ketahui. Aku merasa bahwa ada hubungan yang tak terlihat antara dirinya dan sesuatu yang gelap, sesuatu yang menguasainya. Suatu malam, aku terbangun oleh suara langkah kaki berat yang terdengar di lantai bawah. Ketika aku turun, aku melihat Arga berdiri di tengah ruang tamu, matanya hitam pekat, dan senyumnya yang lebar penuh dengan kekejaman. “Jangan coba campuri urusanku,” katanya dengan suara yang bukan milik Arga.

Akhir yang Menghantui
Hari-hari berlalu dengan cepat, dan aku merasa semakin terisolasi dari kakakku. Arga tidak lagi berbicara padaku, bahkan dia tidak pernah tidur di kamarnya. Semua perubahan ini semakin menakutkan. Suatu malam, aku memutuskan untuk menyelidiki lebih lanjut. Aku mengikuti Arga ke ruang bawah tanah yang selama ini terkunci. Di sana, aku menemukan sebuah altar gelap, dengan patung-patung aneh dan lilin yang menyala. Arga berdiri di depan altar itu, dan di sekelilingnya, bayangan gelap berputar-putar. “Aku tidak bisa lagi keluar,” kata Arga, matanya tidak lagi milik manusia. “Dia telah mengambil alihku.”
Aku berlari, meninggalkan rumah itu, dan tidak pernah kembali lagi. Meskipun aku meninggalkan segalanya, aku tahu, Arga—kakakku—sudah tidak lagi menjadi manusia yang kukenal. Sesuatu telah menguasainya, dan hubungan itu kini tak bisa diputuskan. Aku berharap, suatu saat nanti, ada yang bisa menghentikan ikatan itu sebelum terlambat.

Epilog
Aku sering mendengar cerita dari orang-orang yang tinggal di sekitar rumah kami. Mereka mengatakan, kadang-kadang mereka melihat seorang pria yang tampak seperti Arga, namun dengan tatapan yang kosong dan senyum menyeramkan, berdiri di jendela, menunggu malam yang panjang.
Tinggalkan Balasan