Kenangan Tujuh Tahun Silam
Pemakaman Bu Rina ; Tujuh tahun silam, saat aku masih duduk di bangku kelas 3 SMA di daerah Banyumas, aku mempunyai seorang sahabat dekat bernama Reza yang mempunyai seorang adik perempuan berusia lima tahunan bernama Dinda. Saat itu, ibunya, Bu Rina, sedang mengandung di usia yang sudah waktunya untuk melahirkan.
Kabar Dari Bibi
Pada waktu itu hari Rabu, kami pulang sekolah naik angkot. Dalam perjalanan, Reza ditelepon oleh bibinya, Bu Wati (kakak pertama dari Bu Rina), yang memberitahukan bahwa ibunya sudah mau melahirkan di rumah Bidan Ratna. Kami pun segera turun dari angkot, lalu naik ojeg omprengan alias semotor bertiga. Perjalanan menuju rumah Bidan Ratna cukup jauh, memakan waktu sekitar satu jam.
Kepergian yang Mendalam
Sesampainya di sana, suasana sudah ramai dengan sanak saudara Reza, dan tangis haru menyelimuti ruangan bersalin. Ternyata, Bu Rina telah berpulang ke pangkuan Allah SWT. Aku tertegun sejenak, lalu berpikir, “Kemana bayinya? Apakah selamat atau meninggal juga?” Tak lama kemudian, saudara Reza datang membawa susu formula. Ternyata, adik Reza yang baru lahir selamat dan sehat. Bayi laki-laki itu diberi nama Arman, sesuai harapan almarhumah Bu Rina. Namun, nasib berkata lain, sang ibu harus meninggal saat melahirkannya.
Tradisi Pemakaman
Pemakaman Bu Rina : Singkat cerita, jenazah Bu Rina dibawa pulang ke rumah karena hari sudah semakin sore. Aku mencoba menenangkan Reza, menyarankannya agar tetap tabah menghadapi cobaan ini. Sesampainya di rumah, jenazah Bu Rina segera dimandikan, dikafankan, dan disholatkan, serta diberi wewangian. Saat itu, aku tidak mengikuti pemakaman karena tradisi keluarga Reza hanya memperbolehkan laki-laki yang hadir dalam proses pengantaran jenazah. Sementara perempuan bertugas menyiapkan wejangan atau hidangan untuk pelayat yang sudah kembali dari pemakaman.
Malam yang Mencekam
Hari menjelang malam, keluarga Reza mengadakan pengajian dan tahlilan, yang selesai sekitar pukul 9 malam. Aku memutuskan untuk menginap di rumah Reza untuk sekedar membantu dan menemani dia yang sedang berduka. Malam itu terasa mencekam. Para tamu sudah pulang, dan yang tersisa hanyalah saudara-saudara dekat Reza.
Suara Misterius
Tepat pukul 23.40, aku ingat betul karena saat itu aku sedang mengirim SMS untuk izin menginap kepada kakakku. Arman, adik baru Reza, menangis tiada henti. Kami semua sudah bergantian menggendong dan memberinya susu, tetapi tangisannya tidak juga reda. Maka dibuatlah ayunan oleh ayahnya, Pak Heri, namun tangis Arman tetap tidak berhenti. Aku berpikir, “Ada apa ini? Apa dia ingin ASI? Atau ada sebab lain?”
Ketika itu, dapur rumah Reza penuh dengan piring dan gelas kotor bekas pengajian tadi. Tak ada satu pun yang mencucinya, mungkin karena keluarga Reza terlalu lelah dan sibuk. Tiba-tiba, dari arah dapur terdengar suara piring dan gelas seperti sedang dicuci. Kami yang berada di ruang tamu keheranan dan merinding, karena tidak ada satu pun dari kami yang berada di dapur. Arman pun menangis semakin kencang. Bu Laila, kakak dari almarhumah Bu Rina, segera menggendong Arman. Katanya, ia punya firasat bahwa yang di dapur itu adalah Bu Rina. Tangisan Arman mungkin karena ibunya ingin menggendongnya.
Pertemuan yang Menakutkan
Suara itu masih terdengar. Tika, adik perempuan Reza, berkata, “Kak, si mamah manggil-manggil ade Arman melulu.” Kami semua kaget. Pak Heri pun memberanikan diri melihat ke dapur. Dia berteriak, “Astagfirullah haladzim…” sambil berlari keluar dari dapur. Sontak, Bu Laila yang sedang menggendong Arman berbicara, “Eneng, sudah neng… Jangan dicuci! Besok juga ada Sari yang nyuciin. Kita pada capek neng… Kamu jangan bikin takut orang-orang di sini! Sudah neng, yang tenang di sana! Si Arman sama anak-anakmu biar saya yang urusin.”
Namun, suara itu bukannya berhenti, malah semakin menjadi. Kami semua ketakutan dan mulai menangis. Bu Laila pun kesal, “Udah lu… Kalo kaga mau nurut gua, kaga bakal gua urusin anak-anak lu. Biarin mau jadi apa juga, kaga bakal gw anggep!” Sontak suara-suara itu pun berhenti seketika. Kami semua merasa lega, suara itu menghilang. Lalu, Bu Laila memeriksa dapur. “Subhanallah,” katanya, mencium bau harum semerbak di sekitar dapur. Semua cucian yang tadinya kotor kini sudah bersih dan tertata rapi.
Janji Seumur Hidup
Keesokan harinya, kami bertanya kepada Pak Heri tentang apa yang dilihatnya semalam. Pak Heri berkata, “Itu mamah. Dia lagi nyuci piring pakai baju putih terang. Rambutnya panjang hitam. Putih banget, bersih mukanya…” Sejak saat itu, Pak Heri berjanji tidak akan menikah lagi, dan sampai saat ini ia menepati janjinya. Alhamdulillah, sekarang Arman sudah besar dan sudah sekolah. Ia dirawat oleh Bu Laila, kakak dari almarhumah Bu Rina.
Epilog
Kisah ini menjadi pengingat betapa kuatnya kasih sayang seorang ibu, bahkan ketika sudah tiada. Kehadiran almarhumah yang menjaga keluarganya dan aroma wangi bunga yang tertinggal adalah bukti bahwa cinta seorang ibu tidak pernah hilang, meski tubuhnya telah kembali ke Sang Pencipta.
Tinggalkan Balasan