Berburu Togel Di Dahi Pocong Pada awal tahun 90-an, banyak orang menganggap permainan togel resmi bernama SDSB sebagai jalan pintas menuju kekayaan. Di dusun terpencil bernama Kampung Rawa Hijau, tinggal seorang pemuda bernama Warto. Setiap minggu, Warto menghabiskan uangnya untuk memasang nomor togel, namun keberuntungan tidak pernah berpihak padanya. Terobsesi dengan cara instan untuk meraih untung, Warto menjadi mudah terpengaruh oleh bisikan-bisikan seputar “cara cepat” lainnya, termasuk yang melibatkan hal-hal mistis.
Tawaran Menantang: Mencari Nomor di Kuburan Angker
Suatu sore, Pak Kodir, seorang kenalan Warto, menyarankan agar Warto mencoba metode mistis yang katanya sudah terbukti berhasil bagi beberapa orang nekat. Pak Kodir menjelaskan bahwa seseorang bisa menemukan nomor togel di dahi pocong yang berkeliaran di kuburan angker. Ceritanya terdengar seperti lelucon, namun bagi Warto yang sudah terdesak oleh obsesinya, saran tersebut seperti undangan tak tertolak.
“Kalau berani, malam Jumat nanti coba ke kuburan Rawa Kuning. Siapkan nyalimu, baca mantranya, dan cari nomor di dahi pocong. Itu caranya,” ujar Pak Kodir dengan suara rendah, penuh misteri.
Walaupun terdengar mengerikan, Warto menyetujui rencana itu. Malam Jumat tiba, dan setelah menyiapkan mental serta mempelajari mantra yang diberikan oleh Pak Kodir, Warto berangkat seorang diri ke kuburan tua di ujung desa yang konon katanya sering menjadi lokasi penampakan.
Kuburan Sunyi di Tengah Hutan
Kuburan Rawa Kuning terletak jauh di pedalaman, di tengah hutan lebat yang sunyi. Jam sudah menunjukkan tengah malam saat Warto sampai di sana. Di bawah cahaya bulan yang temaram, ia berdiri di depan makam baru seorang lelaki yang meninggal belum lama ini. Kanan kirinya hanya ada pohon-pohon besar dan batu nisan yang tertutup lumut. Bau bunga kamboja dan tanah basah bercampur dengan aroma aneh, membuat Warto menggigil.
Dengan kedua tangan gemetar, Warto mulai mengucapkan mantra yang diajarkan Pak Kodir. “Bismillah… astaghfirullah,” gumamnya pelan, berusaha menenangkan dirinya. Malam terasa semakin dingin, dan kesunyian yang mencekam membuat setiap helaan napas Warto terdengar sangat jelas. Tak ada apa-apa untuk beberapa saat, hingga tiba-tiba…
Kemunculan Pocong
Saat angin mulai berhembus perlahan, Warto merasakan ada sesuatu yang tidak beres. Angin yang semula lembut kini bertiup semakin kencang, menciptakan suara-suara aneh di antara pepohonan. Tiba-tiba, Warto mendengar suara gemerisik seperti langkah kaki yang menyeret. Bulu kuduknya meremang, namun ia terus memejamkan mata dan melafalkan mantra. Daun-daun kamboja mulai berjatuhan dan berputar di udara.
Lalu, dengan suara pelan namun berat, terdengar suara kain yang terkoyak dari arah makam di depannya. Sesuatu yang berat jatuh di tangannya—seperti tubuh yang dibungkus kain basah, berbau menyengat seperti daging busuk. Tangannya seakan tertahan oleh beban tak kasat mata, tubuhnya kaku seolah ada yang menahannya.
Ia tahu ini saatnya untuk melihat dahi pocong tersebut. Warto menggigit bibirnya untuk menahan rasa takut, lalu membuka mata perlahan. Apa yang dilihatnya membuat jantungnya berdetak lebih cepat.
Teror Wajah Pocong yang Hancur
Matanya pertama kali tertuju pada kain kafan yang menutupi sosok tersebut—kafan yang lusuh, penuh noda tanah dan bercak darah kering. Ia mencoba mengarahkan pandangannya ke bagian atas, berharap bisa segera melihat nomor yang dicari. Namun semakin tinggi ia menatap, semakin jelas betapa mengerikannya sosok itu. Kain kafan pocong itu robek-robek di beberapa bagian, menampakkan kulit yang menghitam dan mengeluarkan bau busuk yang menusuk hidung.
Ketika matanya mencapai wajah pocong, Warto terkejut. Wajah itu sudah hancur, bibirnya hilang sehingga gigi-gigi berwarna cokelat kusam menyembul keluar, dan dari hidungnya yang hampir habis, cairan hitam menetes perlahan. Di sela-sela tulang hidung dan rongga mata, terlihat belatung yang merayap, menjalar dengan keji.
Warto berusaha keras untuk tidak menjerit, tetapi ketakutan sudah menguasainya. Matanya berusaha fokus ke bagian dahi, namun nomor yang dicarinya tak kunjung terlihat. Yang ada hanyalah pandangan kosong pocong tersebut yang terus menatapnya, seolah mengikuti setiap gerakannya.
Lari dari Kuburan Teror
Dalam keadaan histeris, Warto tidak tahan lagi. Dia melempar tubuh pocong tersebut dan langsung berlari sekuat tenaga meninggalkan kuburan. Hutan yang gelap menjadi saksi kepanikannya; dia berlari tanpa mempedulikan akar-akar pohon atau batu nisan yang membuatnya tersandung. Setiap kali ia menoleh, ia merasa bayangan pocong itu mengejarnya, semakin dekat dan semakin jelas.
Warto tersandung, jatuh, dan kakinya tergores batu nisan, namun ia tak peduli. Napasnya tersengal, matanya basah oleh air mata ketakutan. Ia bahkan mendengar suara tawa pelan dan menyeramkan di belakangnya, seolah sosok itu mengolok-oloknya.
Trauma yang Menetap
Setelah akhirnya berhasil keluar dari area kuburan, Warto tidak langsung pulang ke rumah. Tubuhnya lemas, dan ia terduduk di pinggir jalan, gemetaran, mengatur napasnya yang tersengal-sengal. Pikirannya penuh dengan ketakutan yang mencekam. Bayangan wajah hancur pocong itu terus menghantui benaknya. Dari situ, Warto bersumpah takkan pernah lagi mencoba mencari nomor keberuntungan di tempat-tempat angker. Sejak malam itu, ia hidup dalam bayang-bayang ketakutan, seringkali terbangun di tengah malam, merasakan sosok itu masih mengawasinya dari kegelapan.
Pengalaman horor itu mengubah hidup Warto selamanya. Ia tak lagi menyentuh permainan judi atau memikirkan cara-cara instan yang melibatkan dunia gaib. Sosok pocong di kuburan Rawa Kuning tetap menghantui ingatannya, sebuah pengingat bahwa dunia lain tidak bisa diganggu demi ambisi pribadi.
Tinggalkan Balasan