Ambulans Maut : Teror Sosok Tak Kasat Mata di Jok Belakang , Panggil saja Pak Jaka. Beliau bekerja sebagai sopir ambulans di salah satu rumah sakit terkenal di Malang. Sehari-harinya, Pak Jaka dan rekan-rekannya sering berkumpul di barak ambulans, saling berbagi cerita dan bercanda di sela-sela tugas. Namun, hari itu sebuah kejadian di luar dugaan mengubah malam Pak Jaka menjadi mimpi buruk.
Panggilan Darurat di Siang Hari
Siang itu, ketika Pak Jaka sedang bercengkrama dengan rekan-rekannya, telepon dari kantor berbunyi nyaring. “Pak , ada kecelakaan di daerah timur! Segera ke lokasi!” Suara panik dari ruang kontrol menandakan bahwa kejadian ini bukan sekadar kecelakaan biasa.
Dengan sigap, Pak Jaka segera memanaskan mesin ambulans dan meluncur ke lokasi. Sesampainya di TKP, Pak Jaka bergegas keluar. Di sana, ia mendapati seorang korban yang tewas dalam keadaan mengenaskan—kepala korban mengalami luka berat, salah satu tangannya patah, dan darah mengalir deras dari tubuhnya. Pak Jaka hanya bisa bergumam pelan, “Ya Allah, malangnya nasib orang ini…”
Bersama tim medis, ia mengevakuasi korban dengan hati-hati. Setelah menempatkan korban di belakang ambulans, ia segera membawa jenazah itu ke rumah sakit untuk dilakukan pemeriksaan. Sepanjang perjalanan, suasana mencekam terasa. Udara di dalam ambulans terasa dingin, seolah ada energi yang menyelimuti ruang tersebut.
Menyelesaikan Tugas dan Bersiap Istirahat
Sesampainya di rumah sakit, Pak Jaka dan tim segera menurunkan jenazah dan menyerahkannya pada tim dokter forensik. Ia tahu bahwa tugasnya belum selesai; seperti biasa, ia harus mencuci ambulans untuk membersihkan sisa darah yang menempel. Sambil menyemprot lantai ambulans, Pak Jaka bergumam, “Kalau tidak dibersihkan benar-benar, bisa-bisa nanti ada yang balik lagi…”
Tak lama, temannya, Pak Leman, yang juga sopir ambulans, mendekatinya. “Pak, pastikan tak ada darah yang tersisa. Dulu saya pernah… ya begitulah, tahu-tahu ada ‘penumpang tambahan’ di jok belakang,” kata Pak Leman sambil melirik ambulans dengan ekspresi serius.
Pak Jaka mengangguk. “Iya, Pak Leman, saya juga pernah dengar. Saya bersihkan ini dulu. Biar aman, nggak ada yang ikut pulang.”
Setelah yakin bahwa ambulansnya sudah bersih, Pak Jaka merasa lega dan memutuskan untuk istirahat sejenak di ambulans. “Baru juga berbaring sebentar, kok sudah mengantuk begini,” desisnya sambil memejamkan mata. Namun, kelelahan yang mendera perlahan membawanya pada sesuatu yang lebih mencekam daripada sekadar mimpi.
Sosok di Jok Belakang
Dalam keheningan malam, Pak Jaka mulai tertidur pulas di jok depan. Tiba-tiba, ia mendengar suara samar dari belakang ambulans, seperti ada yang menggeser sesuatu. “Krek… krek…” Suara itu perlahan menjadi lebih jelas dan mendekat.
Pak Jaka mengernyitkan dahi, masih setengah sadar. “Siapa… siapa itu?” tanyanya lirih. Ia membuka matanya, merasa ada sesuatu yang aneh. Hawa dingin menyelimuti kabin ambulans. Lalu, suara itu terdengar lagi, kali ini seperti seseorang yang merintih dari jok belakang.
“Pak Jakaaa… Tolong saya…” Suara itu terdengar pelan namun jelas di telinganya.
Pak Jaka membeku. Tubuhnya gemetar saat ia memberanikan diri melirik melalui kaca yang memisahkan kabin depan dan belakang. Apa yang dilihatnya di sana membuat darahnya berdesir hebat. Di jok belakang, terbaring sosok korban kecelakaan yang siang tadi ia bawa, wajahnya yang hancur dan kepalanya yang pecah masih berlumuran darah, tangan kanannya terlihat hilang dan dari mulutnya mengalir cairan merah pekat.
“Pak Jaka… kenapa kau tinggalkan aku…” Suara itu kembali merintih, kali ini lebih menyeramkan dan penuh amarah. Sosok tersebut mulai menggerakkan tubuhnya perlahan, matanya yang kosong menatap tajam ke arah Pak Jaka.
Pak Jaka merasakan tubuhnya melemah, seakan kakinya terkunci di tempat. Dengan suara serak ia berkata, “Ya Tuhan… siapa… siapa kamu?”
Sosok itu hanya memandangi Pak Jaka dengan pandangan kosong. “Aku butuh tempat… tempat untuk pulang…” terdengar suara pelan namun penuh desakan.
Lari dari Teror
Dalam kepanikan, Pak Jaka langsung melompat keluar dari ambulans. Ia berlari ke arah barak dengan nafas tersengal-sengal, tanpa berani menoleh ke belakang. Saat mencapai pintu barak, ia melihat temannya, Pak Leman, yang terkejut melihat kondisi Pak Jaka yang pucat pasi.
“Pak Jaka! Kamu kenapa? Mukamu kok pucat begitu?” tanya Pak Leman khawatir.
Dengan gemetar, Pak Jaka berkata, “Pak Leman… tadi di ambulans… saya lihat dia! Korban tadi siang, dia ada di jok belakang! Wajahnya… matanya menatap saya!”
Pak Leman memasang wajah serius. “Sudah kubilang, bersihkan sampai benar-benar bersih, Pak Jaka. Kadang mereka nggak pergi begitu saja kalau masih ada jejaknya,” katanya sambil menghela napas panjang.
Penemuan Pagi Hari
Keesokan paginya, setelah semalaman tidak bisa tidur, Pak Jaka memberanikan diri memeriksa ambulans. Dengan perasaan was-was, ia membuka pintu belakang. Di bawah jok, ada setetes darah yang sudah mengering—darah yang kemarin terlewatkan saat pembersihan.
Pak Jaka menarik napas panjang, lalu bergumam pelan, “Astaga… pantas saja aku diganggu semalam. Ini semua gara-gara tetesan darah ini.”
Sejak kejadian itu, Pak Jaka tidak pernah lalai dalam membersihkan ambulansnya setelah mengantar korban kecelakaan. Trauma dan ketakutannya seolah menjadi pengingat bahwa terkadang, mereka yang sudah tiada masih ingin kembali atau sekadar mengingatkan kehadirannya.
Cerita ini mungkin hanya satu dari banyak kisah seram di balik layar para sopir ambulans. Bagi mereka, mobil ambulans bukan hanya sekadar kendaraan darurat, tetapi juga menjadi saksi bisu pertemuan antara dunia nyata dan dunia gaib yang terkadang menuntut untuk diakui keberadaannya.
Tinggalkan Balasan