Misteri Nusantara – Gamelan Setan
Ning nong ning gung… Ning nong ning gung…

Suara tetabuhan itu terdengar akrab di telingaku, meskipun aku tak tahu asalnya.
Lima hari telah berlalu sejak aku mengunjungi rumah sepupuku, Darminto, yang terletak jauh di pedesaan. Rumahnya sederhana, tetapi hangat dengan keramahannya. Darminto tinggal sendirian, yatim piatu, dan bekerja sebagai petani sederhana.
Desa ini, meskipun damai, terasa sangat apa adanya. Namun, ada yang aneh sejak aku tiba. Setiap malam, desa ini terasa seperti desa mati—nyaris tidak ada kehidupan. Penduduk selalu mengunci pintu rapat-rapat setelah Maghrib dan hanya menghidupkan lampu tempel. Aku juga heran mengapa Darminto pun melakukan hal yang sama: menutup pintu rapat-rapat setelah Maghrib dan hanya menyalakan satu lampu tempel di ruang tamu, yang harus dimatikan sebelum tidur.
“To, kenapa desa ini setiap habis Maghrib seolah seperti desa mati?” tanyaku suatu pagi saat kami sarapan nasi tiwul dan sayur lodeh pedas.
Darminto hanya menggelengkan kepala. Aku semakin penasaran, terutama dengan suara gamelan yang terdengar sayup-sayup setiap malam.
“To, kamu itu bagaimana… Wong aku ini sepupumu, masa kamu nggak mau ngasih tahu apa yang terjadi di desa ini?” desakku.
Namun, Darminto hanya menunduk dan melanjutkan makanannya. Aku sudah bertanya pada beberapa penduduk, namun jawabannya selalu sama. Mereka tampak enggan memberi penjelasan, bahkan kecemasan terpancar jelas dari wajah mereka.
“Jangan, Den… nanti saya bisa celaka,” jawab seorang penduduk.
“Nyuwun ngapunten, saya tidak bisa cerita,” jawab lainnya.
Beberapa orang langsung masuk ke rumah mereka saat aku bertanya.
Mengapa mereka menutup pintu setelah Maghrib? Apa yang menyebabkan suara gamelan itu terdengar setiap malam?
Ning nong ning gung… Ning nong ning gung…
Suara gamelan itu kembali terdengar, terbawa hembusan angin malam. Padahal, setahuku tidak ada acara pesta atau perkawinan di desa ini. Aku benar-benar ingin tahu apa yang sebenarnya terjadi. Namun, saat aku hendak keluar dari rumah, Darminto buru-buru mencegahku.
“Din, jangan keluar… nanti kamu bisa celaka,” cegahnya.
“Apanya yang celaka, To?” aku malah bertanya, rasa penasaran semakin menggelora.
Malam kelima itu, suara gamelan semakin keras, mengusik ketenanganku. Aku merasa cemas, tetapi rasa penasaran mengalahkan segalanya.
“To, kenapa kamu selalu mengucapkan kalimat yang sama?” tanyaku, tak tahan lagi dengan segala yang mengambang.
Darminto hanya terdiam. Aku semakin marah, frustrasi karena pertanyaan-pertanyaanku selalu tak terjawab.
“Setiap kali aku bertanya tentang suara gamelan itu, kenapa kau malah melarangku? Aku juga berhak tahu apa yang terjadi di sini,” kutumpahkan semua kekesalanku.
Darminto tetap diam, matanya menerawang ke luar, meskipun jendela tertutup rapat. Suara gamelan itu semakin keras, menyelimuti malam yang semakin menyeramkan.
“To, tolong jelaskan apa yang sebenarnya terjadi di sini,” aku mendesak, tak sabar lagi.
Sudah lelah aku mendapat jawaban yang sama setiap hari. Bahkan aku pernah diusir dari rumah Pak Diran hanya karena menanyakan soal gamelan misterius tersebut. Darminto masih diam seribu bahasa, matanya memelas memandangiku.
Aku mendekat pada Darminto dan berkata, “Sudahlah, To. Kalau kamu tidak mau bicara, biar aku sendiri yang cari jawabannya.”
Aku sudah putus asa dan ingin segera tahu apa yang terjadi. Suara gamelan itu masih terdengar hingga menjelang dini hari, terus menggelitik alam bawah sadarku. Ini harus segera diselesaikan, sebelum aku mati penasaran karenanya.
Aku menunggu saat malam kembali menjelang, saat suara gamelan itu kembali berkumandang.
Diam-diam, aku keluar dari rumah Darminto tepat pukul 9 malam, membuka pintu perlahan agar Darminto tidak terbangun. Aku sangat penasaran dengan suara gamelan yang melantunkan kebogiro itu. Mengapa hampir setiap malam gamelan itu terdengar sejak aku datang ke kampung ini?
Aku berjalan berjingkat ke arah luar rumah. Suasana terasa sangat mencekam, nyaris tidak ada penerangan, hanya pijar lampu tempel yang berkerlap-kerlip di sepanjang jalan kampung itu. Menurut Pak Jimbrong, sejak seminggu sebelum kedatanganku, suara gamelan itu selalu terdengar, seolah menjadi teror yang tak berujung bagi para penduduk yang sebelumnya hidup damai.
Angin berhembus perlahan, membawa hawa dingin yang mencekam, sementara aku berusaha mempertajam pendengaran, ingin tahu darimana asal suara gamelan itu. Langit tidak berbintang, kadangkala terdengar lolongan serigala, seolah memberikan kengerian dan kesedihan. Aku sebenarnya merinding, takut, sekaligus penasaran dengan apa yang terjadi di kampung ini.
“Aku harus tahu darimana gamelan itu berasal,” tekadku dalam hati, berusaha mengalahkan rasa takut yang perlahan merajai jiwaku. Kemudian aku menutup pintu rumah Darminto dengan sangat berhati-hati. Senyap, tanpa kehidupan, bahkan suara jangkrik pun tak terdengar. Aku condongkan badanku untuk mencari arah suaranya.
“Aha… itu dia!” seruku dalam hati. Suara hatiku mengatakan bahwa bunyi gamelan itu berasal dari bukit di sebelah kampung. Kurapatkan jaketku dan dengan berlari kecil, aku menuju Bukit Kalancaka. Semakin kudekati, suara gamelan itu seolah menjauh. Namun aku tetap mengikuti arah angin, dimana suara kebogiro tadi berasal. Nada demi nada yang teralun sebenarnya indah, melambangkan prosesi agung pernikahan adat Jawa. Akan tetapi, karena terdengar di malam hari dan tak ada warga yang mengadakan perhelatan, suasana angker pun merajalela.
Kemungkinan sudah pukul 12 malam ketika aku tiba di kaki Bukit Kalancaka. Bukit ini tampak angker dengan batu-batu cadas yang tersembul di antara rimbunnya hutan. Kata penduduk setempat, tak seorang pun yang berani menginjakkan kaki ke bukit itu, bahkan di siang hari.
Kuperhatikan Bukit Kalancaka yang sebenarnya sangat indah.
Namun aku lebih tertuju pada suara gamelan yang semakin jelas. Jantungku tiba-tiba berdetak keras saat langkahku mendekati sumber suara gamelan. Keringat dingin bercucuran, gemetar, dan mataku berusaha meraba gelap. Takut? Tentu! Cemas? Tidak kurang! Apa yang ada di depan sana? Penasaran? Makin tebal! Aku berusaha mematikan rasa takut dan cemas itu. Aku sudah bertekad untuk mengetahui apa yang terjadi di Bukit Kalancaka.
Ning nong ning gung… Suara itu kian membahana, membedah dan mengobrak-abrik sanubariku. Sebenarnya apa yang terjadi? Langkahku semakin mendekati sumber suara, seolah terjadi suatu keramaian luar biasa. Tiba-tiba aku mendengar suara-suara manusia yang mendekat. Bergegas, aku bersembunyi di balik semak belukar, sementara langkah-langkah kaki manusia itu semakin jelas. Ternyata mereka adalah sosok seperti manusia yang memakai busana seolah hendak ke pesta perkawinan. Ada empat orang laki-laki yang masing-masing membawa bungkus, entah apa isinya.
Aku berusaha makin mendekat, seiring dengan suara gamelan yang seolah mengejarku untuk segera menemukannya. Kubuntuti keempat orang itu hingga menapaki jalan tikus berbatu yang terjal. Suara gamelan itu semakin membiusku. Aku terus berjalan hingga tiba di sebuah padang rumput, tempat yang penuh kerumunan orang yang seolah tidak memperdulikanku. Suara gamelan itu semakin mendekat.
Saat aku menoleh ke arah kerumunan, aku melihat sekelompok orang yang memainkan gamelan. Namun yang aneh, hampir semuanya berwajah mengerikan. Aku nyaris berteriak jika tidak ingat pesan Kakekku sebelum pergi: “Jika engkau hendak pergi ke suatu tempat yang tak dikenal, janganlah bersuara.”
Sebagian besar pemain gamelan mirip tuyul, dengan bibir yang terbalik. Ada yang memegang gong, kempul, bonang, kenong, gender, peking, slentem, bahkan rebab. Semua memainkan tembang kebogiro yang semakin aku hafal nadanya. Tiba-tiba terdengar suara dalam bahasa Jawa: “Rombongan pengantin telah tiba.”
Aku sekejap menoleh. Sudah ada rombongan pengantin dengan busana Jawa lengkap.
Sang pengantin perempuan memakai pakaian Solo basahan yang anggun dengan bunga melati menghiasi sanggulnya. Namun saat aku melihat pengantin pria, aku terhenyak. Darminto! Tidak mungkin! Pengantin pria itu berwajah mirip Darminto, namun dia pucat, tatapannya kosong. Sekilas dia menatapku, kosong dan sedih. Itu yang aku tangkap dari tatapannya. Tidak mungkin!
Aku bergegas lari meninggalkan arak-arakan pengantin tadi, namun suara gamelan terus mengejarku. Kuturuni Bukit Kalancaka hingga berguling-guling, terluka, tetapi terus berlari. Kutoleh ke belakang, arak-arakan pengantin itu mengejarku, wajah mereka berdarah-darah, matanya keluar, dan ada yang menjelma menjadi sosok kuntilanak. Arak-arakan itu semakin mendekat, aku semakin ketakutan, nafasku tersengal-sengal. Suara gamelan berimbalan dengan lolongan serigala dan cekikikan yang sangat menakutkan. Aku terus berlari hingga tersandung batu dan terhempas ke jurang yang dalam. Aku hanya bisa terpekik… Aaaaaaaa… Badanku melayang tak berdaya.
“Nak, bangun!” Sebuah suara membangunkanku.
Aku terhenyak saat sepasang tangan mengguncang-guncang tubuhku. Kulihat Pak Jimbrong yang membangunkanku. Badanku terasa sakit-sakit. Ternyata aku tergeletak di tegalan.
“Kenapa tidur disitu, Nak?” tanya Pak Jimbrong. Aku berusaha bangun, namun sakit sekali, sehingga dia memapahku. Aku tersadar bahwa aku masih di kaki Bukit Kalancaka. Pak Jimbrong terus memapahku hingga kami sampai di sebuah dangau. Kami duduk di sana, sementara aku masih teringat tentang tadi malam, tentang arak-arakan pengantin, dan pengantin pria yang berwajah Darminto.
Pak Jimbrong tiba-tiba memapahku keluar dari dangau.
“Din, kamu harus cepat pulang ke rumah Darminto!” ucapnya.
“Kenapa Pak?” aku bingung dengan sikapnya. Tanpa bicara lagi, Pak Jimbrong langsung mengajakku ke rumah Darminto. Sesampainya di sana, sudah banyak orang berkumpul. Ada yang melafalkan ayat-ayat suci, namun ada juga yang terheran-heran. Aku bergegas masuk meski kakiku terpincang-pincang. Perasaanku berkata ada sesuatu yang terjadi pada Darminto.
“Oh, jangan… jangan Tuhan! Jangan dia!” aku semakin cemas. Tanpa mempedulikan orang-orang yang duduk bersila, aku segera membuka kain penutup jenazah itu.

“DARMINTOOO!!!!!!” aku berteriak sejadi-jadinya.
Di hadapanku, terbaring jasad Darminto yang membelalak dengan tangan sedikit terangkat. Kaku dan tak bisa digerakkan. Mulutnya menganga, sementara orang-orang berbisik tentang sebab kematiannya. Aku menangis sejadi-jadinya. Apa ini yang kutemui di Bukit Kalancaka? Kenapa Darminto menjadi korban? Apa yang dia lakukan hingga nyawanya hilang begitu saja? Apakah dia meminta pesugihan di sana? Apakah gamelan gaib itu menjadi pertanda akan adanya kematian?
Telingaku mendengar suara lirih gamelan itu lagi, seolah mengantar kepergian Darminto. Dunia menjadi gelap…
Ning nong ning gung…
Ning nong ning gung…
Demikianlah Misteri Nusantara – Gamelan Setan.
=== PREDIKSI HONGKONG HARI INI ===
ISOTOTO : Platform Hongkong Terpercaya Sejak 2014
Kamu Menang Berapapun, Pasti Dibayar Lunas 100%
Klik Disini, Daftar Sekarang
Tinggalkan Balasan