Misteri Nusantara – Warnet Angker “Telah terjadi kebakaran di kawasan…”
“Ih, nggak ada film yang seru apa, sih? Di channel ini berita, channel itu juga berita! Argh!” gerutuku frustrasi sambil membanting remote TV ke sofa di sebelahku.
“Hei, jangan banting-banting gitu dong, Lana! Itu beritanya bagus kok, tentang kebakaran,” tegur kakakku, Dion, yang tiba-tiba muncul dengan segelas jus jeruk di tangannya.
“Apaan sih, Kak? Nonton berita itu nggak seru, tahu! Mending nonton Mermaid in Love deh,” jawabku sambil melipat tangan di dada.
“Yee, Mermaid in Love melulu! Kerjain tugas kamu, tuh! Cepat ke warnet sana buat nge-print!” kata Dion, membuatku langsung teringat tugas yang belum selesai.
Tapi, melihat jam sudah menunjukkan pukul lima sore dan aku belum pernah ke warnet sebelumnya, rasanya takut. Bagaimana jika terjadi sesuatu?
“Kak Dion aja deh yang kerjain. Lagian kan komplek kita ini jauh dari warnet, ya kan?” pintaku memelas.
“Enggak!” jawabnya singkat, lalu meninggalkanku sendiri. Huh, dasar nggak punya hati!
Langkah Berat Menuju Warnet
Setelah berdebat cukup lama dengan diriku sendiri, akhirnya aku memutuskan pergi. Suasana di luar komplek sangat sepi; mungkin karena sudah petang. Aku menghela napas panjang, mencoba mengumpulkan keberanian untuk mencari warnet terdekat.
Berjalan cukup lama, aku merasa putus asa. Tak satu pun warnet terlihat. Yang ada hanya pedagang kaki lima yang berkemas untuk pulang. Namun, di ujung jalan, aku melihat secercah harapan: sebuah rumah yang dijadikan warnet dengan papan bertuliskan “Warung Internet Satria”.
Aku memberanikan diri melangkah masuk ke pekarangan rumah itu. Halamannya tampak rapi dan bersih. Namun, begitu aku masuk, suasananya terasa janggal. Hanya ada seorang anak kecil yang duduk menatap kosong ke layar komputer dan seorang pria penjaga warnet yang berdiri di sudut.
“Aneh,” pikirku. Anak kecil itu terlihat pucat, begitu pula si penjaga. Meski suasana mencengkam, aku mencoba bersikap biasa saja. “Bang, mau nge-print dong!” seruku sambil menghampiri penjaga warnet.
Namun, pria itu hanya menatapku dengan wajah kosong. Tidak ada respons sama sekali. Aku memutuskan mencari komputer sendiri.
Kengerian Dimulai
Ketika duduk di depan komputer, aku menyadari bahwa perangkatnya mati. Aku menekan tombol daya, namun layar yang muncul justru sangat mengejutkan: kobaran api dengan kata-kata “MATI” tertera besar di layar.
Ketakutanku memuncak. Aku segera berdiri dan memutar badan untuk keluar. Tapi anak kecil tadi sudah berdiri di depanku dengan mata melotot. Wajahnya gosong, tubuhnya penuh luka, dan belatung menjijikkan keluar dari setiap lubang di tubuhnya.
“Tidak! Apa ini?” teriakku, berusaha melarikan diri.
Namun, dia menekanku hingga terjatuh ke lantai. Tangan kecilnya mencengkeram leherku kuat-kuat. Napasku tersengal-sengal hingga semuanya gelap.
Tinggalkan Balasan