Misteri Nusantara- Pocong yang Menyeramkan, Malam itu Aku sedang dalam perjalanan pulang setelah menyelesaikan pekerjaan yang terletak jauh dari rumah. Jalanan yang biasanya ramai, kini tampak kosong dan sepi. Penerangan dari lampu jalan yang redup membuat suasana semakin mencekam. Desa tempatku tinggal memang cukup terpencil, dan sudah lama aku terbiasa dengan kesunyian malam yang menyelimuti tempat ini. Namun, malam itu, ada sesuatu yang berbeda—sesuatu yang membuat bulu kudukku meremang.
Aku berjalan dengan cepat, langkahku terdengar jelas di tengah kesunyian yang pekat. Saat tiba di ujung jalan desa, tiba-tiba aku merasakan sesuatu yang aneh. Sebuah bayangan tampak bergerak di ujung jalan yang gelap. Aku berhenti sejenak, mencoba meyakinkan diri bahwa itu hanya imajinasiku. Namun, bayangan itu bergerak semakin dekat, semakin jelas.
Penampakan yang Mengerikan
Aku terkejut saat melihat sosok itu muncul dari kegelapan. Seorang pria, atau yang tampak seperti pria, berjalan pelan menuju arahku. Pakaiannya putih, terbungkus kain kafan yang mengkilap oleh air hujan. Wajahnya tersembunyi di balik kain kafan yang menutupi sebagian besar tubuhnya, hanya matanya yang tampak melotot ke arahku, kosong dan tanpa ekspresi. Tubuhnya terbungkus rapat, dengan tangan terikat di sekelilingnya—seperti pocong.
Suara langkah kaki yang berat itu semakin dekat. Saat sosok itu bergerak lebih dekat, aku bisa melihat dengan jelas—kepalanya yang botak, wajah yang pucat, dan tangan yang terikat. Terkesiap, aku mencoba mundur, tetapi rasanya kakiku terikat oleh ketakutan. Aku terdiam sejenak, tak tahu harus berbuat apa.
Sosok itu tiba-tiba berhenti tepat di depanku. Aku bisa merasakan hawa dingin yang sangat pekat, membuat napasku sesak. Matanya, yang menatap tajam, seolah menembus jiwaku. Ketika ia membuka mulut, suara yang keluar hanya bisikan rendah yang aku hampir tidak bisa dengar. “Bantu aku…” katanya pelan, suaranya bergetar seperti angin malam yang menusuk.
Kengerian yang Tak Terungkap
Pocong itu tetap berdiri di depanku, hanya menatap dengan mata yang kosong. Aku merasa seperti tubuhku dibekukan oleh ketakutan. Tidak ada kata-kata yang bisa keluar dari mulutku. Semua yang bisa kulakukan adalah menatap makhluk yang seharusnya sudah mati itu. Aku merasa ada sesuatu yang lebih besar, lebih mengerikan, yang bersembunyi di balik penampakan itu.
Dalam sekejap, pocong itu bergerak maju, tetapi kali ini ia tidak berjalan biasa. Ia melayang, langkahnya seperti tidak menyentuh tanah. Aku mencoba berlari, tetapi kaki terasa berat, seolah-olah ada kekuatan yang menahanku di tempat itu. Rasa takut semakin mencekam, dan tubuhku kaku, tidak bisa bergerak.
Pocong itu semakin mendekat, dan aku bisa merasakan nafasnya yang dingin menyentuh kulitku. “Bantu aku…” katanya lagi, kali ini lebih keras, seperti sebuah perintah. Aku merasa jantungku hampir berhenti berdetak, dan tubuhku gemetar tak terkendali.
Mencari Jalan Keluar
Aku tahu aku harus berlari. Aku harus melarikan diri dari makhluk itu. Dengan sisa-sisa tenaga, aku mencoba berlari, meskipun kakiku terasa seperti terbenam dalam pasir. Namun, pocong itu terus mengikuti, terbang tanpa suara di belakangku, semakin mendekat, semakin dekat.
Akhirnya, setelah berlari dengan susah payah, aku sampai di rumah tetangga yang tinggal tidak jauh dari situ. Aku berlari ke dalam dan menutup pintu dengan terburu-buru. Aku bisa merasakan pocong itu masih berada di luar, di balik pintu yang terkunci. Suara langkahnya berhenti tepat di depan rumahku. Aku berdiri di balik pintu, mencoba menenangkan diri. Namun, tak ada suara lagi.
Malam yang Tak Terlupakan
Pocong itu akhirnya menghilang. Tidak ada jejak, tidak ada suara, hanya kesunyian yang kembali menguasai. Aku menghela napas panjang, merasa lega meskipun tubuhku masih gemetar. Namun, keanehan tak berhenti sampai di situ. Keesokan harinya, aku mendengar kabar dari tetangga bahwa ada seseorang yang meninggal dunia di jalan yang sama tempat aku melihat pocong itu malam tadi.
Mereka menceritakan bahwa pria yang meninggal tersebut adalah seseorang yang tragis—ditemukan terikat di tengah jalan setelah kecelakaan. Dan menurut cerita, dia dikuburkan dengan cara yang tidak layak. Itu sebabnya, jiwanya tidak tenang dan terjebak antara dunia ini dan dunia lainnya.
Sejak malam itu, aku tidak pernah lagi berani berjalan sendirian di jalan itu. Pocong yang menyeramkan itu tetap menghantui ingatanku, menandai malam yang tak akan pernah bisa aku lupakan.
Tinggalkan Balasan