Genderuwo Penunggu Lumbung Padi Suatu malam yang panas di tengah perjalanan kami, saya dan Rino berjalan kaki menyusuri jalan utama di Kota Pasirjaya. Kami berdua berpindah dari satu toko ke toko lain, ngamen sambil mengharap sedikit rezeki. Tentu saja, waktu itu belum ada ponsel atau gadget, bahkan GPS. Kami hanya mengandalkan insting dan langkah kaki untuk mencari arah. Tanpa tujuan pasti, kami melanjutkan perjalanan.
Meninggalkan Pasar dan Melangkah ke Petualangan Baru
Kami tiba di alun-alun Pasirjaya dan memutuskan untuk naik angkot, tanpa tahu ke mana kami akan dibawa. Setelah beberapa saat, angkot berhenti di persimpangan jalan yang mengarah ke Pantai Gading, sebuah kawasan yang terkenal dengan pasar tradisionalnya. Di kanan jalan, kami bisa melihat pasar Cendana yang sibuk. Kami pun memutuskan untuk turun dan berjalan kaki lagi, melintasi jalanan yang sunyi.
Kami hanya berhenti saat melihat rumah-rumah yang pintunya terbuka lebar, berharap bisa mendapatkan sedikit uang atau makanan. Beberapa pemilik rumah menawarkan beras atau bawang merah, tapi kami menolak. Tas yang kami bawa semakin berat, dan kami tak ingin membebani diri dengan barang-barang tak berguna.
Saat matahari mulai terbenam dan suasana menjadi semakin gelap, kami tiba di sebuah desa kecil yang tampak tenang. Nama desa itu adalah Desa Cendana, dan kami merasa seperti sudah berada di dunia lain.
Pertolongan Tak Terduga
Ketika waktu salat maghrib tiba, kami memutuskan untuk berhenti sejenak di sebuah mushola kecil. Kami berniat untuk beristirahat di sana semalam. Namun, tak lama setelah kami masuk, seorang pria paruh baya mendekati kami.
“Mas, kalian ingin tidur di mushola ini?” tanya pria tersebut, nada suaranya terdengar cemas.
Saya mengangguk, “Iya, Pak.”
Dia menggelengkan kepala. “Jangan tidur di sini, setannya sangat kuat di sekitar mushola ini. Ikut saya, saya antar ke rumah kepala desa.”
Tanpa banyak berpikir, kami mengikuti pria tersebut menuju rumah kepala desa, berharap bisa mendapatkan tempat yang lebih aman. Setelah beberapa menit berjalan, kami tiba di rumah seorang lelaki yang cukup ramah, Pak Darto, kepala desa setempat.
Pak Darto menyambut kami dengan hangat. Kami menunjukkan KTP dan berbincang-bincang sebentar. Setelah itu, beliau memanggil pembantunya untuk menyiapkan kamar tidur, makanan, serta pakaian ganti. Kami merasa sangat beruntung bertemu dengan orang yang begitu baik hati.
Pak Darto kemudian mengarahkan kami ke kamar yang sudah disiapkan. Tanpa ragu, kami berdua segera beristirahat setelah hari yang panjang. Kamar itu cukup luas, meskipun tidak begitu mewah. Terdapat sebuah kasur yang tergeletak di lantai dan sebuah karung goni besar yang berisi padi kering menumpuk di sudut kamar.
Teror di Kamar Tidur
Malam itu, suasana kamar terasa aneh. Lampu bohlam yang redup hanya menerangi sebagian kecil ruangan, memberi kesan suram. Rino cepat tertidur, sementara saya masih terjaga, memandangi tumpukan padi yang menggunung. Tiba-tiba, saya merasa seperti melayang, seperti berada di antara dua dunia—dunia nyata dan dunia yang lebih gelap, dunia gaib.
Suara krincing-krincing terdengar jelas di telinga saya, seolah ada kalung yang dipakai oleh binatang. Semakin lama, suara itu semakin keras dan membuat tubuh saya merinding. Saya mencoba meraih sesuatu untuk menenangkan diri, dan tanpa sengaja tangan saya menyentuh karung padi yang berada di samping kasur. Tiba-tiba, suara geraman rendah yang berat terdengar, seperti suara hewan buas yang sedang mengintai mangsanya.
Ketika pandangan saya semakin jelas, saya hampir tak bisa mempercayai apa yang saya lihat. Di atas tumpukan padi itu, sebuah makhluk besar dan hitam berdiri, matanya merah menyala, bulunya lebat, dan tanduknya melengkung ke belakang. Mulutnya terbuka lebar, memperlihatkan taring-taring tajam yang mengerikan. Makhluk itu mulai mendekat dengan cepat, dan tangan besarnya mencengkeram tubuh saya.
Saya berusaha berteriak, tapi mulut saya terasa terkunci. Tubuh saya terangkat dan dilemparkan ke kasur, terdengar suara keras dari bawah kasur seperti kayu yang pecah. “Allah…” saya berbisik pelan, memohon perlindungan. Tiba-tiba, makhluk itu mundur perlahan, seolah menembus tembok dan menghilang begitu saja.
Saya terbangun, berusaha mengatur napas yang terengah-engah. Agus, teman saya, masih tertidur dengan nyenyak di samping saya. Namun, kasur tempat saya tidur sudah berantakan. Saya merasa sangat ketakutan, tetapi tidak tahu harus berbuat apa. Saya segera keluar kamar dan mencuci muka di luar.
Mimpi yang Menjadi Kenyataan
Setelah mencuci muka, saya kembali tidur dengan doa di bibir. Saya memutar bantal dan mencoba untuk melupakan apa yang baru saja saya alami. Namun, malam itu saya bermimpi lagi. Dalam mimpi saya, makhluk yang sama—yang menyerang saya di kamar—berada di sebuah pabrik gula tua yang terletak di ujung desa Cendana. Pabrik gula itu konon merupakan peninggalan Belanda dan sangat angker, banyak orang yang merasa ketakutan jika melewati tempat itu.
Saya teringat sebuah acara yang pernah diadakan oleh seorang pembawa acara terkenal, Mr. Tukul, yang pernah mengunjungi pabrik gula tersebut. Lukisan yang ia perlihatkan dalam acara itu mirip sekali dengan makhluk yang saya temui malam itu—makhluk hitam dengan mata merah menyala dan tanduk yang mencuat tajam.
Pagi tiba dengan perlahan, dan saya merasa beruntung masih bisa selamat. Namun, perasaan aneh terus menghantui saya hingga hari itu berakhir. Desa Cendana ternyata menyimpan misteri yang jauh lebih dalam dari yang kami kira. Genderuwo Penunggu Lumbung Padi
Tinggalkan Balasan