Perjalanan Tengah Malam yang Menyeramkan
Dihadang Kuntilanak Di Perempatan Malam itu begitu sunyi, seolah-olah seluruh alam telah terlelap, membiarkan kegelapan malam menguasai Desa Kalisari, sebuah kampung kecil yang belum terjamah oleh listrik. Hanya ada cahaya redup dari lampu minyak yang terlihat dari beberapa rumah. Jalanan berbatu, dinaungi pepohonan besar dan rumpun bambu, membuat suasana malam semakin kelam. Di desa ini, cerita tentang makhluk halus bukanlah hal asing. Warga percaya, terutama di sekitar perempatan desa, ada sosok kuntilanak yang sering menampakkan diri pada malam hari, menebar teror bagi siapa saja yang melintasinya.
Pak Darto, atau yang lebih akrab dipanggil Uwa, seorang pemuda pemberani dan terkenal tangguh di desanya. Meski begitu, cerita-cerita seram tentang perempatan angker tetap membuatnya bergidik. Namun, malam itu, setelah menuntaskan turnamen bulu tangkis yang berlangsung hingga tengah malam, Uwa tak punya pilihan selain pulang sendirian. Ia pun mulai berjalan, menuntun sepeda kumbangnya sambil menguatkan hati.
Aroma Melati yang Mencekam
Perjalanan itu awalnya berjalan lancar, meski kelelahan tampak di wajahnya. Langkah Uwa terasa semakin berat ketika mendekati perempatan angker yang sering diceritakan oleh warga desa. Beberapa meter sebelum tiba di sana, tiba-tiba hidungnya menangkap aroma wangi bunga melati yang sangat kuat. Aroma itu begitu tajam, seolah menyelimuti seluruh tubuhnya, membuatnya merasa pusing dan tercekik.
Bulu kuduknya langsung berdiri. Ia mencoba mengabaikannya, tetapi aroma melati semakin lama semakin pekat. Uwa pun terhenti sejenak, memandang ke sekeliling. Jantungnya berdegup kencang, kepalanya berdenyut, dan ia mulai merasakan sesuatu yang tidak biasa. Namun, ia tetap melangkah maju, berharap itu hanya perasaan takut yang berlebihan.
Sosok Misterius di Kegelapan
Ketika jarak antara dirinya dan perempatan angker tinggal sekitar lima puluh meter, matanya menangkap bayangan putih berdiri di tepi jalan. Sosok itu memunggungi Uwa, rambutnya panjang menjuntai, dengan gaun putih yang terlihat lusuh dan melambai-lambai tertiup angin. Tubuhnya tampak kaku, seperti patung yang tak bernyawa, namun aura dingin yang terpancar dari sosok itu membuat Uwa merasa seolah-olah dirinya sedang diawasi.
Uwa terdiam di tempat, napasnya mulai tercekat. “Ya Tuhan, jangan-jangan ini benar-benar kuntilanak,” batinnya gemetar. Ia pun mencoba memperlambat langkah, berpindah sedikit ke kanan, berharap bisa melewati sosok tersebut tanpa masalah. Dalam hati, ia berdoa agar sosok itu hanyalah ilusi mata yang lelah. Namun, semakin dekat ia melangkah, sosok itu tetap diam, tak bergerak sedikit pun.
Kengerian di Balik Senyuman
Uwa yang kini berada tepat di dekat sosok putih itu, memberanikan diri untuk bertanya, “Malam-malam kok sendirian di sini? Enggak pulang?” Suaranya bergetar, namun sosok itu tetap diam, seolah tak mendengar sapaan Uwa. Ketika ia hendak mempercepat langkah, tiba-tiba terdengar suara tawa pelan yang aneh. “Hihihihi…” Suara itu begitu lembut, tetapi lama-lama tawa itu berubah semakin keras dan menyeramkan, menggema di antara pepohonan bambu.
Tubuh Uwa terasa membeku. Ia tak lagi bisa menggerakkan kakinya, terperangkap oleh suara tawa yang menyayat hati. Pikirannya dipenuhi rasa takut yang tak tertahankan. Perlahan-lahan, sosok putih itu memutar tubuhnya, memperlihatkan wajah pucat pasi dengan senyuman tipis yang penuh kebencian. Mata kuntilanak itu kosong dan hitam, seolah-olah menatap ke dalam jiwa Uwa, menelanjangi ketakutannya.
Seketika, bulu kuduknya semakin meremang, tubuhnya kaku, tak bisa bergerak. Tawa itu kini terdengar seperti lolongan mengerikan yang membuat suasana semakin mencekam. Tiba-tiba sosok itu melayang mendekat, perlahan tapi pasti, seperti ingin merasuki Uwa dengan kebenciannya.
Ayat-Ayat Penyelamat
Merasa putus asa, Uwa dengan reflek melempar sepedanya ke arah samping sambil mengucapkan makian khas Tegalan, “Astaga! Ini beneran kuntilanak!” Tanpa sadar, tangannya langsung memegang bagian depan celananya, mencoba melindungi diri dari gangguan sosok itu, mengingat kisah-kisah kuntilanak yang sering menggoda pria dengan cara yang tak lazim.
Uwa mulai melantunkan ayat-ayat suci yang diingatnya, memohon perlindungan dari Tuhan. Baru saja ia mulai membaca ayat kursi, sosok kuntilanak itu tiba-tiba berhenti. Wajahnya tampak semakin marah, dan dengan suara jeritan melengking, ia melayang lebih tinggi, semakin tinggi, hingga menghilang di balik pohon bambu. Tawa kuntilanak itu terus bergema, meredup perlahan, hingga akhirnya hilang ditelan kegelapan malam.
Pelarian Tanpa Menoleh ke Belakang
Kakinya terasa lemas, namun Uwa segera memungut sepedanya yang jatuh. Tanpa pikir panjang, ia segera berlari, berusaha meninggalkan tempat angker itu secepat mungkin. Sepanjang jalan, Uwa terus menggumamkan doa, berharap bisa segera sampai di rumah. Kegelapan malam terasa begitu mencekam, seolah masih ada bayangan sosok kuntilanak yang mengikutinya di setiap langkah.
Ketika akhirnya tiba di rumah, Uwa segera masuk dan mengunci pintu rapat-rapat. Malam itu, ia tidak bisa tidur, bayangan wajah pucat dan suara tawa kuntilanak terus terngiang di pikirannya. Pengalaman ini menjadi kisah yang tak pernah bisa ia lupakan, sebuah malam penuh horor yang membekas dalam ingatannya selamanya.
Tinggalkan Balasan