Teror Pocong di Malam Ronda : Ketika Candaan Menjadi Nyata , Desa tempatku tinggal kini lagi heboh dengan kabar tentang maling. Malam hari jadi waktu paling rawan karena biasanya maling beraksi. Anehnya, maling itu selalu nyerang rumah yang berdekatan. Misalnya, malam ini rumah nomor 1 jadi sasaran, besoknya rumah nomor 2, dan seterusnya. Tapi kali ini, aku bukan mau cerita tentang malingnya, melainkan tentang pengalaman seram yang kualami bareng teman-temanku saat kami dapat tugas ronda malam buat jaga desa dari teror maling itu. Sialnya, kami dapat tugas tepat pada malam Jum’at Kliwon.
Ronda Malam yang Seram
Malam itu, desa kami gelap banget karena minim lampu. Kami udah terbiasa main di tempat gelap, jadi merasa biasa-biasa saja. Tapi malam itu, semua jadi berbeda. Temanku, Anton, ngasih ide biar kami menakut-nakuti maling dengan nyamar jadi setan. “Gimana kalau kita jadi pocong? Maling pasti ketakutan!” serunya sambil tertawa.
“Setuju! Kita harus bikin mereka takut!” jawab Budi, yang selalu ceria. Kami pun setuju, dan dengan sprei putih serta tali rafia, Anton jadi pocong.
Di desa kami cuma ada dua jalan utama, jalan masuk dan jalan keluar. Kami berpikir, maling pasti nggak berani lewat dua jalan itu. Jadi, kami putuskan buat nunggu maling di area pesawahan. Malam Jum’at Kliwon, kami ngumpul di tempat gelap antara tanaman padi. Saat itu, kami ada tujuh orang, dan nenekku sering bilang kalau angka tujuh itu aneh. “Ngomong-ngomong, kenapa kita harus ngumpul di sini? Kenapa enggak di pos ronda aja?” tanya Rian.
“Ah, pos ronda terlalu terang. Maling pasti lihat kita!” jawab Anton. Kami pun mengabaikan tanda-tanda aneh dan melanjutkan rencana.
Setelah lama menunggu di pesawahan, maling yang kami tunggu nggak muncul-muncul. Rian, yang lagi nyamar jadi pocong, tiba-tiba terkejut. “Eh, ada yang aneh di atas!” teriaknya sambil nunjuk ke langit. Kami semua mendongak, dan bulu kudukku berdiri.
Apa Itu di Atas?
Di atas kami ada benda putih melayang. Awalnya, aku pikir itu plastik yang terbawa angin, tapi benda itu nggak bergerak sama sekali meski angin kencang. “Itu bukan plastik! Itu… itu bisa jadi hantu!” bisik Budi, wajahnya pucat.
“Jangan bercanda, Budi! Itu cuma angin!” Anton membela diri, walaupun suaranya mulai bergetar. Semakin lama, aku makin yakin bahwa itu bukan benda biasa. Teman-temanku mulai panik dan sepakat untuk pulang ke pos ronda.
Tapi sialnya, benda itu mendekat dengan cepat. “Lari! Cepat!” teriak Anton. Bruk! Benda itu jatuh tepat di antara kami. Semua langsung panik, dan aku merasa lumpuh. Untung salah satu temanku, Budi, bisa bergerak dan menarik tanganku. Kami berlari ke pos ronda tanpa berani menoleh lagi.
Ketegangan di Pos Ronda
Di pos ronda, kami seharusnya merasa aman, tapi suasananya aneh. Ketika kami masuk, kami mendapati pos ronda gelap dan tidak terawat. “Kenapa ini sepi banget?” tanya Rian.
“Jangan-jangan malingnya udah masuk sini?” sahut Anton, wajahnya penuh kekhawatiran. Kami berusaha bercanda, tapi suasana jadi mencekam. “Eh, jangan-jangan tadi itu beneran pocong?” tanya Budi dengan suara bergetar.
“Jangan ngomong gitu! Itu cuma imajinasi kita!” jawab Anton, tapi suaranya tidak meyakinkan. Tiba-tiba, dari sudut pos, terdengar suara berderak, membuat kami semua terdiam. Kami menatap satu sama lain, tidak ada yang berani bergerak.
“Siapa yang di sana?” teriak Rian, suaranya pecah. Namun tidak ada jawaban. Tiba-tiba, lampu senter Budi mati, membuat suasana semakin gelap. “Budi, nyalakan sentermu!” teriak Anton, panik.
“Tadi masih hidup, sekarang enggak!” jawab Budi, suaranya hampir menangis.
Kami semua terdiam. Suasana jadi semakin tegang. Sementara kami berusaha menenangkan diri, sosok berbalut kain putih muncul di sudut ruangan. Sosok itu diam di sana, mengawasi kami. Jantungku berdebar kencang. Itu bukan Rian yang nyamar. Itu… pocong!
Menghadapi Teror
“Sial! Itu beneran pocong!” teriak Anton. Kami semua berusaha lari, tetapi kaki kami seakan terikat di tempat. “Apa kita harus serang dia?” tanya Budi.
“Enggak, kita harus keluar dari sini!” jawab Rian, berusaha mengarahkan langkah kami. Kami akhirnya berlari ke pintu, tetapi saat kami mau keluar, sosok pocong itu tiba-tiba menghalangi jalan kami.
“Siapa yang kalian cari?” suara serak itu membuat kami semua terdiam. Kami saling memandang, tak tahu harus bagaimana.
“Maaf, kami cuma ronda, Pak. Nggak ada maksud jahat!” Anton berusaha menjelaskan. Namun, pocong itu hanya tertawa, suara tawanya seram.
“Ronda? Kalian datang ke tempat yang salah,” katanya dengan nada mengancam. Semua pikiran kami berlarian. “Kau tidak bisa pergi. Sudah terlalu larut malam.”
Kami berusaha berlari lagi, tetapi sosok itu semakin mendekat. “Lari!” teriak Rian. Kami terpaksa memecah arah, berusaha mencari jalan keluar. Suasana menjadi kacau, kami berlari ke berbagai arah, berusaha mencari pintu yang bisa kami buka.
Kesimpulan
Setelah melewati berbagai teror, kami berhasil keluar dari pos ronda. Nafas kami terengah-engah, dan kami melihat satu sama lain, masih bingung dan ketakutan. Kami memang bertujuh, tapi sosok yang lain itu menambah ketegangan malam Jum’at Kliwon kami. Dan entah apa yang akan terjadi selanjutnya, yang jelas, kami tidak akan pernah melupakan malam itu.
Kami janji tidak akan ronda lagi pada malam Jum’at Kliwon, dan mulai percaya bahwa malam itu membawa sesuatu yang lebih dari sekadar kegelapan. Kejadian itu meninggalkan bekas dalam pikiran kami, menjadi cerita yang akan kami ceritakan selama-lamanya.
Tinggalkan Balasan